Sekadau, dermagafm.com – Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau Keuskupan Sanggau menggelar seminar bertema “Mari Menjaga Tanah, Air, dan Hutan Kita: Jangan Warisi Anak Cucu dengan Air Mata, Warisilah dengan Mata Air, Tanah, serta Hutan” yang berlangsung di Aula Santa Bernadet, Paroki Bunut, Sanggau, hari Rabu (23/10/2025).
Seminar yang dibuka oleh Vikaris Jendral Keuskupan Sanggau, P. RD Riyadi ini merupakan kolaborasi dengan Bapak Paolus Hadi S.IP, M.Si selaku Anggota DPR RI komisi IV yang membidangi Lingkungan Hidup: Kehutanan Perkebunan Perairan dll
Menurut Pastor RD Edmundus Saebar selaku Ketua KKP-PMP Keuskupan Sanggau, bahwa kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai paroki di wilayah Keuskupan Sanggau dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan serta perlindungan masyarakat hukum adat di tengah arus globalisasi.
Hadir sebagai narasumber Paolus Hadi S.IP., M.Si., Dr. Marina Rona, S.H., M.H dan Tadeus, S.H., MPA, Para pembicara menyoroti berbagai isu aktual terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Dayak, termasuk dampak globalisasi terhadap kehidupan adat dan lingkungan.
Dalam pemaparannya, Paulus Adi menjelaskan bahwa globalisasi membawa dampak ganda bagi masyarakat adat.
“Di satu sisi, globalisasi membuka akses informasi, teknologi, dan promosi budaya ke dunia internasional. Namun di sisi lain, nilai-nilai lokal mulai tergerus, lahan adat terancam diambil alih, dan terjadi marginalisasi sosial maupun ekonomi,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Marina Rona menekankan pentingnya pengakuan hukum dan kelembagaan masyarakat adat, pemberdayaan ekonomi lokal, pendidikan dan pelestarian budaya, serta advokasi partisipasi publik sebagai upaya perlindungan yang berkelanjutan.
Tadeus menambahkan bahwa fakta di lapangan menunjukkan berbagai pencemaran lingkungan yang terjadi di lingkungan masyarakat Dayak terutama di hutan, sungai tanah dan air. Hal ini perlu disadari oleh masyarakat sebagai ancaman bagi generasi berikutnya.
“Tantangan utama saat ini adalah memastikan keberlanjutan masyarakat adat di tengah derasnya laju sektor perkebunan dan pertambangan dengan pencemaran yang terjadi seperti yang saya paparkan,” ujarnya.
Sementara itu, Paulus Hadi menguraikan sejumlah faktor pemicu konflik antar masyarakat adat, seperti perbedaan konsep kepemilikan tanah adat secara komunal dengan sistem hukum nasional. Menurutnya, perbedaan ini kerap menimbulkan kesulitan dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan batas wilayah adat yang sering kali tidak memiliki batas tegas menurut standar hukum modern. Penetapan kawasan hutan pun, lanjutnya, kerap menggunakan peta yang belum tentu akurat di lapangan. Lemahnya koordinasi antar instansi serta tumpang tindih kewenangan antar kementerian yang mengatur kehutanan, pertanahan, dan tata ruang turut memperburuk situasi.
Dampak dari konflik tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat adat, antara lain kehilangan akses terhadap sumber daya alam, erosi budaya yang menyebabkan terputusnya transmisi pengetahuan tradisional kepada generasi muda, serta marginalisasi sosial yang menimbulkan stigma bahwa masyarakat adat menghambat pembangunan.
Sebagai rekomendasi, Paulus Hadi menyarankan beberapa langkah solusi, yakni harmonisasi peraturan di bidang pertanahan dan kehutanan agar tidak saling bertentangan serta mengakomodasi hak-hak masyarakat adat. Selain itu, diperlukan penyederhanaan prosedur dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing komunitas adat, serta penguatan kapasitas baik bagi pemerintah maupun masyarakat adat agar dapat memahami dan menjalankan regulasi yang berlaku secara efektif.
Dalam sesi akhir, para narasumber sepakat bahwa strategi menghadapi globalisasi harus mencakup digitalisasi budaya adat, kolaborasi antara masyarakat adat dan akademisi, penguatan hukum adat dan peraturan perundang-undangan, serta pendidikan multikultural di berbagai tingkatan.
Seminar ini menjadi wadah refleksi bersama agar eksistensi masyarakat tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga meneguhkan kembali identitas budaya Dayak yang berakar pada kearifan lokal dan penghormatan terhadap alam. ( Ika)
Editor: Penanggung Jawab Radio Dermaga Sekadau
